Dari Satu Kayuhan Sepeda & Senyum Ibu (Cerpen)

 

Dari Satu Kayuhan Sepeda & Senyum Ibu

Picture by Pinterest

Aku terus berjalan, melangkah melewati belakang gedung-gedung sekolah. Sebenarnya hari ini libur sekolah, tapi karena ada kegiatan di sekolah jadi aku berangkat. Sambil bersenandung riang, tak lupa senyum yang selalu tersungging di bibir. Aku berlari kecil menghampiri teman-temanku yang kulihat sudah berada di parkiran. Mereka sedang melambaikan tangan ke arahku, memanggilku.

Saat jarakku sudah berdekatan dengan area parkir, langkahku terhenti sejenak. Seketika raut wajahku berubah drastis. Wajahku tidak seceria tadi saat keluar dari ruang aula. Entah kenapa, aku sedih. Dan ada rasa—malu—yang menyergap hatiku.

Aku berjalan pelan, mendekati mereka semua. Tersenyum sungkan, untuk menyambut senyum cerah mereka. “Rani, kamu bawa sepeda?” tanya salah satu temanku.

“Hm, iya nih. Nggak ada motor di rumah, jadi bawa sepeda. Punyanya juga sepeda. Juga udah biasanya kan aku bawa sepeda Na.” Jawabku lirih, lalu kepalaku mendongak menghadap seseorang yang sudah kupanggil ‘Na’ itu. Lantas mataku melihat sekeliling, benar kan. Mereka semua, anak-anak SMA yang berangkat ke sekolah hari ini rata-rata sudah mengendarai motor semua. Hanya aku saja yang menggunakan sepeda.

Sudah hal wajar memang kalau sekarang anak-anak SMA mengendarai motor. Jangankan SMA, yang SMP bahkan SD saja mereka terlihat sudah sangat lihai sekali mengendarai kendaraan tersebut. Aku tahu, orang tuaku tak punya cukup uang untuk membelikanku sepeda motor. Mereka hanya bisa memberi sepeda saja, yang kuterima saat aku duduk di bangku SMP. Seharusnya aku sudah bersyukur, ya aku harus bersyukur. Tapi rasanya selalu terselip rasa malu di dada.

Memang, bapak hanya punya satu motor saja. Itu juga untuk bapak kerja. Aku berusaha maklum, menerima walaupun sulit.

Tapi... Ah sudahlah.

“Duluan ya Na, Tari, Aisyah, semuanya. Pamit ya, Assalamualaikum.” Pamitku pada mereka semua.

Mereka mengangguk dan menjawab salamku serempak. Aku berlalu, meninggalkan parkiran sekolah. Mengayuh sepeda dengan pelan kala aku menyeberang jalan. Tatapanku memang fokus ke depan, tapi berbeda dengan pikiranku. Pikiranku masih berkecamuk, berkecamuk memikirkan hal tadi. Aku tahu, tak seharusnya aku memikirkan hal seperti itu, tapi ntah mengapa setelah melihat teman-teman tadi aku jadi tak bisa menghilangkan pikiran buruk ini. Pikiran yang akan membuat aku jadi sedih, tak percaya diri lagi.

Tak terasa aku sudah sampai di pertigaan jalan, sekitar 500 meter lagi aku sudah sampai di rumahku. Saat aku akan belok ke kiri, aku mendengar suara tawa dua orang dari arah belakang, saling bersahutan melempar celotehan yang sebenarnya aku tak tahu mana yang lucu sehingga membuat mereka sampai tertawa renyah begitu. “Duluan Ran, hati-hati ya!” sapa mereka saat berpapasan denganku, melewatiku. Kulihat Aisyah duduk di belakang, dibonceng Naira. Mereka sama-sama menoleh padaku dengan senyum yang tersungging di bibir.

“Oh, iya. Hati-hati juga ya! Mau mampir nggak?”

“Lain kali aja Ran, udah sore ini.” Sahut Aisyah sambil melambaikan tangan kanannya. Kuanggukkan kepalaku, melihat jarak mereka denganku kian jauh.

Memelankan laju sepedaku, aku menghembuskan nafas pelan. Mengusap hidungku yang rupanya sudah dibanjiri keringat. Menurunkan masker sedikit untuk memperluas pasokan udara yang menerpa wajahku. Ternyata ngos-ngosan juga ya naik sepeda ngebut, pakai masker lagi. Susah banget kalau mau ambil nafas.

Ya iya lah capek, ngos-ngosan. Orang kamu pakai sepeda Ran. Lihat tuh temen kamu yang tadi! Ga perlu capek-capek kaya kamu. Makanya ih, pakai aja motor bapakmu! Ujar si merah yang ada di sebelah kiriku.

Hufft, udah cukup Ran, jangan bahas ke sana lagi, okay! Yang ada aja, yang kamu punya aja, pakai sepeda sudah harus bersyukur kamu Ran daripada jalan kaki. Seru si putih yang ada di sebelah kananku.

Apaan tuh naik sepeda? Yang ada kamu sesak nafas gini. Emangnya nggak malu kamu sama teman-temanmu huh? Sahut si merah kembali.

Lho, kenapa harus malu kamu Ran? Naik sepeda itu menyehatkan Ran, sepeda kamu juga masih bagus tuh. Masih kinclong tuh sepeda kamu. Sahut si putih tidak mau kalah.

Mau sepeda sebagus apa tapi tetep aja, tadi kamu pakai sepeda sen---

Si merah dan si putih masih terus saling bersahutan, mendengungkan kedua telingaku. Membuat pikiranku bercabang ke mana-mana. Bingung mau mendengarkan yang mana. Si merah yang bertanduk atau si putih yang memakai bandana itu.

Aduhh... Pusing kepalaku. Iya, jujur aku malu. Aku iri sama teman-temanku, mereka semua mengendarai sepeda motor setiap kali pergi. Entah ke sekolah, kerja kelompok, atau kegiatan sekolah seperti tadi mereka pasti mengendarai motor. Sedangkan aku? Tak dapat dipungkiri kalau aku juga ada keinginan di hati untuk mengendarai motor saat bepergian, walau hanya ke sekolah saja, atau ke tempat teman saat ada kegiatan sekolah.

Memang, walau aku belum cukup umur tapi bapak sudah membolehkanku mengendarai motor. Trek terjauhku mengendarai motor itu cuma sampai pasar saja, belum pernah sampai keluar daerah kecamatan. Itu pun jarang sekali aku memakai motor. Seperti apa yang sudah kubilang tadi, motornya dipakai bapak kerja. Dan aku pun memakai motor jika ada keperluan mendadak saja.

“Rani, sudah sampai kamu?”

Dari pinggir jalan telingaku mendengar suara ibu.  Kulihat ibu sedang menaruh sapu lidi dan juga ikrak, sepertinya ibu baru selesai menyapu halaman. Dengan mengayuh sepedaku pelan, aku menghampiri ibu. Saat jarakku dengan ibu hanya tinggal dua langkah kaki, kuberhentikan sepeda ini. Memandang ibu yang sedang tersenyum padaku.

“Emm, iya nih bu. Anak ibu yang paling cantik ini udah di depan rumah.” ucapku dengan ekspresi yang kubuat seperti ibunya Lisa Blackpink waktu beliau menjawab pertanyaan dari Lisa. Hehe, walaupun aku pakai sepeda bukan berarti aku tak mengikuti perkembangan jaman lho ya. Bisa dibilang aku penggemar girl grup Korea itu, walau bukan penggemar fanatiknya, tapi aku suka semua lagu-lagunya Blackpink. Dasarnya memang aku pencinta musik, entah itu musik apa saja yang menurut telingaku enak di dengar pasti aku menyukai lagu itu.

 Dunia ini memang sudah berubah, terus berkembang seiring berjalannya waktu. Dari perkembangan itulah yang menjadikan dunia ini berubah. Entah dari teknologi, suasana, atau dari kondisi bumi itu sendiri pun sudah berubah. Manusia memang tak ada puasnya membuat perubahan setiap waktu.

Kuhapus dua langkah kaki itu dengan satu kayuhan sepeda, menghampiri ibu yang tersenyum cerah menyambutku. Kupeluk erat tubuh ibu dari samping, dengan posisiku yang masih naik sepeda. Setelah pelukan itu lepas, aku turun dari sepeda lantas memarkirkannya di halaman rumah.

Ibu merangkulku masuk ke dalam rumah. Saat di serambi rumah, aku menghentikan langkahku. Ibuku menoleh heran. “Ada apa Ran?” tanya ibu cemas.

Aku menggelengkan kepala, lantas kupeluk lagi tubuh ibuku erat, lebih erat daripada tadi. Tak lama, aku menangis tergugu dalam dekapan ibu. Lantas ibu membawaku duduk di kursi bambu yang memang disediakan di serambi rumah. Ibu mengelus punggungku pelan, menenangkanku.

Beberapa saat tangisku sedikit demi sedikit mulai reda. Kuhapus air mataku yang mengalir di pipi. Menoleh menatap ibu yang juga menatapku balik. Menghembuskan nafas ibu bertanya kembali, “Ada apa Ran?”

Dengan masih sesenggukan, aku menjawab, “Ibu, Rani malu.” Suaraku masih terdengar parau. Ibu mendekap tubuhku lagi. Sepertinya ibu tahu ke mana pikiranku tertuju. Ibu sudah bisa menebak dari raut wajah dan tingkah lakuku saat turun dari sepeda.

“Kenapa malu Ran?”

“Rani malu bu. Cuma Rani aja yang pakai itu. Rani beda sendiri.”

Dengan sabar ibu mengelus kepalaku yang tertutup jilbab, lantas ibu menegakkan badan. “Coba tarik nafas pelan dulu, lalu keluarkan. Biar rileks. Masih sesenggukan gini kamu.”

Kucoba menarik nafas pelan, lalu aku keluarkan dari mulut. Mencoba berulang kali sampai aku merasa lebih tenang. Saat ibu melihatku sudah lebih tenang, ibu mulai berbicara kembali.

“Ran, nggak ada yang salah kalau kamu naik sepeda. Iya, teman-teman kamu rata-rata memang sudah pakai motor. Tapi apa mereka pernah bully kamu hm?” tanya ibu pelan.

Aku menggelengkan kepala, “Mereka nggak ada yang bully Rani bu.”

“Tuh, mereka nggak ada yang bully kamu kenapa kamu malu?”

Tak ada suara yang keluar dari mulutku, aku hanya diam mendengarkan ibu.

“Ibu tahu kok apa yang kamu rasakan. Ibu tahu kamu malu. Tapi Ran, ada saatnya kamu lihat ke atas. Kamu tahu kan maksud ibu?” Aku menganggukkan kepala pelan, ya aku tahu maksud ibu.

“Tapi bu, Rani—”

“Sshutt, udah. Rani, nggak ada yang salah kalau kamu naik sepeda. Hm, dari sepeda itu kamu bisa belajar Ran.” Berhenti sejenak, ibu menatapku.

Aku bingung, maksud ibu apa? Belajar dari sepeda?

Kulihat ibu menganggukkan kepala, tersenyum menatapku. “Iya Ran, sepeda itu mengajarkan kita apa arti berjuang. Kamu tahu kan di setiap perjuangan itu pasti ada hikmah dibaliknya.”

“Dari setiap kayuhan sepedamu itu kamu bisa membuat ibu tersenyum. Bukan hanya ibu saja yang ikut tersenyum, tapi—” Ibu berhenti sejenak, menoleh ke sekeliling. Lalu menatap wajahku kembali.

“Ibu pertiwi kamu juga ikut tersenyum Ran.”

“Maksud ibu?” tanyaku kembali.

“Ya, ibu pertiwi juga ikut tersenyum. Kamu inget kan waktu nonton serial India Chandra Gupta? Dia bahkan rela mati untuk membuat ibu pertiwi tersenyum. Gimana perjuangan Chandra Gupta dan gurunya mempertahankan ibu pertiwi dari keserakahan Raja Dhanananda itu. Bahkan Chandra Gupta sampai kehilangan sahabat dan juga ibunya hanya untuk bisa membuat ibu pertiwi tersenyum.” Jelas ibu.

“Hm, iya ya bu. Semangat juangnya tinggi seperti pahlawan kita dahulu saat mempertahankan Indonesia dari penjajah.”

“Iya Ran. Sekarang ini kamu, ibu, bapak, dan yang lain berjuangnya bukan dengan mengangkat senjata. Tapi dengan cara berpikir dan bertingkah laku yang baik. Kamu naik sepeda ke sekolah nggak ada yang salah. Kamu punya niat baik buat belajar. Dengan bersepeda kamu juga belajar untuk membuat bumi kita tersenyum bangga sama kamu. Karena apa coba?”

“Karena apa ya bu? Kok aku dengar ibu bahas ibu pertiwi, terus bumi tersenyum itu tiba-tiba aku kepikiran sama pemanasan global.” Ujarku.

“Nah, iya Ran, kalau pakai sepeda kan itu nggak menghasilkan polusi udara. Setidaknya,  hanya dengan satu kayuhan sepedamu itu kamu sudah berusaha untuk mengurangi polusi. Polusi udara ada nggak hubungannya sama pemanasan global?” tanya ibuku sambil memainkan kedua alisnya. Hm, rupa-rupanya ibuku mau menggodaku nih. Mengetes kemampuan pemahamanku.

Tapi tunggu dulu, ibu tahu pemanasan global dari mana ya?

“Lho, ibu tahu dari mana pemanasan global itu?”

“Ya tahu dong, masa ibu nggak tahu sih sama pemanasan global atau apa itu global warming, eh betulkan?” mataku memicing curiga, menatap ibu yang sedang senyum cengengesan menggodaku.

“Bu!”

“Ya, kenapa Rani. Asmarani? Apa ada yang bisa saya bantu?”

Tuh kan, ibu mencurigakan. Jangan-jangan?

“Hei, Ran? Asmarani Atikah? Kok bengong sih?” ibu melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

Aku mengerjapkan mata saat tersadar dari lamunanku, “Ibu! Ibu buka bukuku ya?” kulihat tiba-tiba ekspresi ibuku lesu.

“Yah, ketahuan deh.” Jawab ibu lesu lantas tertawa renyah.

“Habisnya waktu itu ibu kan penasaran ya Ran, kamu tahu kan ibu suka baca. Waktu habis beli cabai di warung sebelah itu, kan cabainya dibungkus kertas koran. Di selembar koran itu ada bahas pemanasan global itu. Ibu kan penasaran apa pemanasan global, ya ibu baca. Nggak sengaja waktu beres-beres meja belajar kamu. Buku kamu kebuka tuh. Waktu itu ibu inget kamu nyelonong main habis ngerjain tugas. Nah ibu lihat ada tulisan pemanasan global di buku kamu. Ya ibu langsung tambah rasa penasarannya tentang pemanasan global.” Jelas ibu menggebu. Aku hanya diam menyimak mendengar cerita ibu.

“Di buku kamu lebih jelas bahasnya Ran. Tapi ada sebagian yang ibu bingung kan, dan kebetulan juga hp kamu nggak dibawa main. Ibu langsung cari tuh di google tentang efek rumah kaca.”

Aku menggelengkan kepala, tidak menyangka tentang rasa penasaran ibu yang terlihat luar biasa bagiku. Biasanya setahuku itu ibu-ibu lebih kepo sama gosip-gosip tetangga atau artis. Tapi ini ibuku? Masya Allah, ibu bisa memanfaatkan rasa penasarannya pada hal yang positif.

“Jadi bu?”

“Ya nggak ada jadi. Ibu malah takut Ran. Bahaya banget tuh pemanasan global. Sebenarnya ya efek rumah kaca itu dari artikel yang ibu baca nggak selalu merugikan, kalau tidak berlebihan.”

“Iya bu, tapi ulah manusia yang semakin menjadi-jadi itu yang membuat efek rumah kaca jadi berlebihan.” Jelasku singkat.

“Nah, kaya kamu dong. Kamu juga mau menjadi-jadi nih.”

“Ih, y-ya nggak kok bu. Nggak jadi menjadi-jadi deh aku.” Kataku gugup.

“Iya deh bu, sekarang Rani baru sadar. Ibu, coba dong jelasin sedikit aja yang ibu tahu seputar pemanasan global itu. Biar aku juga bisa mengingat kembali materinya bu, sebentar lagi juga mau PAS. Ya bu, ya?” pintaku memohon.

“Ibu belum tahu banyak Ran, cuma garis besarnya aja. Tapi kamu pastinya udah tahu apa itu pemanasan global.”

“Yang ibu tahu efek rumah kaca itu penyebab pemanasan global. Nah, salah satu gas efek rumah kaca itu ada karbon dioksida. Kalau ibu dengar karbon dioksida bukannya itu juga ada hubungannya sama kendaraan bermotor?”

“Iya bu, CO2 itu salah satu polutan utama yang mencemari udara. Selain CO2 ada juga nitrogen dioksida (NO2), nitrat oksida (NO), partikel debu, serta timbal (Pb). Itu zat-zat sebagian besar dihasilkan oleh kendaraan bermotor.” Jelasku sambil menunduk, tak berani menatap wajah ibu.

“Nah, itu kamu tahu. Itu zat-zat ada dampak buruknya nggak Ran bagi kesehatan tubuh?” tanya ibu.

“Ada bu, setahu Rani karbon dioksida dan kawan-kawannya itu dapat mengiritasi paru-paru terus menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan infeksi pernapasan. Kalau timbal bisa berpotensi menurunkan fungsi mental, mengganggu fungsi ginjal sama saluran pencernaan. Kalau ibu mau tahu lebih lanjut, nanti ibu bisa cari-cari lagi di google.” jelasku pada ibu, masih dengan kepala menunduk.

“Udah, nggak usah nunduk gitu. Ibu nggak marah kok sama kamu.” Dengan perlahan aku mendongakkan kepala, menatap ibu yang sedang tersenyum padaku. Tangan ibu menggenggam kedua tanganku erat. Ada rasa nyaman dan lega yang menyergap hatiku.

“Nah, gitu dong. Ya udah nanti ibu mau pakai hp-nya ya, buat cari-cari informasi lagi. Kayanya ibu udah banyak banget ketinggalan informasi penting nih.” ucap ibu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku yang memang tidak paham dengan kode kedipan mata ibu memilih tak ambil pusing. Aku mencium kedua tangan ibu. Berkali-kali aku kecup tangan yang sudah merawatku dari aku lahir sampai sekarang ini dengan penuh kasih sayang. “Ya udah, hp-nya juga nganggur nanti bu. Terus nanti ibu mau cari informasi apa?” aku bertanya dengan raut wajah polos, lalu memeluk tubuh ibu manja.

“Tentang pemakaian tisu yang berlebihan. Kemarin baca artikel sekilas ternyata pemakaian tisu juga ada dampak buruknya. Ada pengaruhnya juga terhadap pemanasan global. Tisu kan bahan dasarnya dibuat dari kayu. Makin banyak penggunaan tisu makin banyak juga penebangan pohon. Kalau hal itu nggak diimbangi dengan penanaman kembali terus kita juga nggak mulai memperbaiki pola konsumsi tisu sejak sekarang, maka akan terjadi kebiasaan yang bisa menyebabkan pembabatan hutan terus-menerus,” jelas ibu panjang.

 “Tuh kan Ran, kamu kan boros banget pakai tisu. Mulai sekarang kurangi ya, pakai sapu tangan aja tuh banyak di lemari kalau cuma mau hapus ingus sama air mata. Kalau sapu tangan kan bisa dicuci. Lha kalau tisu? Cuma sekali pakai terus buang. Nah, waktu ibu mau baca lagi tiba-tiba ada notif masuk Ran. Kamu tahu notif apa?” ibu melepaskan pelukanku. Menatapku dengan mata memicing.

“Apa bu?” Tanyaku penasaran.

“Ternyata anak ibu udah gede ya.” Ibu menggelengkan kepala.

“Ya Allah, ibu ketinggalan info penting. Ternyata anak ibu ini lagi masa pdkt  nih sama si dia, ehm ehmm.” Kepalaku langsung menoleh menghadap ibu. Seketika pipiku terasa panas, walau aku tak melihat langsung tapi aku yakin pipiku ini sudah seperti kepiting rebus.

“Ibu tahu kok nak, lebih tahu darimu gimana perasaannya. Udah, ibu juga pernah ngerasain kok. Tapi ibu kaget lho Ran. Dikira ibu si Fatimah  yang kirim pesan ke kamu. Eh, waktu ibu buka ternyata si dia yang kirim pesan. Langsung deh ibu baca semua isi chat kamu. Maaf ya bukannya ibu lancang. Tapi kamu harus tahu batasan ya Ran!” Peringat ibu padaku, tak lupa dengan ekspresi wajah menggodaku.

“Ih, ibu. Nggak gitu bu. Dia bukan siapa-siapanya Rani kok. Ibu jangan salah paham dulu ya!” ucapku merajuk. Ibu beranjak dari tempat duduk, meninggalkanku sendirian di serambi rumah.

Sambil melangkah ke dalam rumah, ibu bersuara, “Udah sana Ran, mandi! Udah bau tuh badan kamu. Nanti lapisan pdkt mu bisa menipis sama kaya lapisan ozon lho.” Ujar ibu sambil tertawa.

Lho, memangnya apa kaitannya pdkt sama lapisan ozon. Ada-ada aja ibu tuh. Mau nangis lagi rasanya aku. Ya Allah, ini rasanya malah lebih malu daripada ke sekolah naik sepeda.

Nggak apa Ran, tenang, tarik nafas lalu hembuskan. Coba ulangi beberapa kali!

Hufft, udah tenangkan Ran?

Tuh bener kan Ran, naik sepeda nggak ada salahnya. Lebih baik naik sepeda karena menyehatkan. Ujar si putih dengan senyum lima jarinya.

Ya tetap gengsi lah Ran, udah banyak kok temen kamu yang naik motor. Nggak ada salahnya juga pakai motor tahu! Sahut si merah, dengan ekspresi wajah bersungut menahan kesal.

Lho, ya jangan kaya gitu Ran! Naik motor bahaya, kamu juga belum cukup umur. Ditambah lagi kendaraan bermotor membawa dampak buruk bagi lingkungan juga kesehatan tubuh. Udah sepeda aja! Sahut si putih.

Motor Ran, lebih enak tinggal gas aja. Ujar si merah.

Sepeda aja Ran, lebih sehat tinggal kayuh aja.  Sahut si putih lagi.

Ahh, sudah cukup! Kenapa jadi perang argumen lagi sih. Aku nggak mau ngikut kalian berdua ya Si Merah Bertanduk sama kamu, Si Putih Pakai Bandana! Aku mau ikut kata hatiku aja. Sama kata ibu, titik nggak pakai koma. You know?

Ya, nggak apa Ran kamu pakai sepeda. Nggak ada ruginya kamu naik sepeda. Malah kamu bisa sekalian olahraga. Nggak ada untungnya juga kamu mengeluh Ran, kalau kamu terus mengeluh kamu nggak bakal dapat apa-apa. Justru dengan bersyukur kamu jauh lebih beruntung Ran. Kamu bisa menerbitkan senyum ibumu dan juga ibu pertiwimu.

Iya Ran, kamu bisa. Kamu kuat kok. Jaga ibu pertiwimu sama seperti kamu menjaga ibumu Ran. Buat dia tersenyum selalu, buat dia selalu bahagia, sama seperti kamu buat ibumu bahagia.

 

 

Penulis:

Destri Nisa

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

  1. Wah, luar biasa tulisanmu ini, Destri. Ceritanya menarik. Gambar pendukung juga ada. Perbaikannya, sebelum kata untuk tidak perlu diberi tanda koma. penulsian kata "ntah" yang betul "entah." lebih baik, gunakan kata "saya," bukan dengan kata "aku." Walau cerpen itu, menggunakan bahasa sehari-hari, alangkah baiknya bila menggunakan bahasa baku. kata "nggak" diganti dengan "tidak"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel Pentingnya Memilah Sampah dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup

Biografi Wali Kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 10 Purworejo